Dalamjangka pendek, apalagi untuk tanah-tanah yang sudah miskin unsur hara, pemberian pupuk organik membutuhkan jumlah besar sehingga menjadi beban biaya bagi petani. Sementara itu respon tanaman terhadap pupuk organik tidak se-spektakuler pemberian pupuk buatan. Adapundefisiensi unsur hara tidak selalu karena minimnya ketersediaan unsur hara saja tetapi bisa berarti tidak terserap atau tidak termanfaatkannya unsur hara meskipun sudah dalam bentuk tersedia. Ketidakseimbangan ketersediaan unsur hara ini dipengaruhi banyak faktor diantaranya kondisi tanah sebagai media tanam dan macam pupuk yang Pencemarantanah adalah keadaan di mana bahan kimia buatan manusia masuk dan merubah lingkungan tanah alami. Pencemaran ini biasanya terjadi karena: kebocoran limbah cair atau bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan kendaraan pengangkut minyak, zat kimia, atau limbah; air limbah dari Aeroponikadalah cara bercocok tanam dimana oksigen ditambahakan ke dalam larutan unsur hara, sehingga memungkinkan perakaran menyerap unsur hara dengan cepat dan mudah. Produk hidroponik biasanya lebih baik dari pada yang ditanam di tanah dalam hal rasa dan kandungan nutrisi. Hal ini disebabkan semua unsur hara yang diperlukan tanaman Kaliummemiliki fungsi yang sangat penting bagi tanaman yaitu sebagai pengaktif enzim tanaman,menguatkan batang, meningkatkan hasil buah. Kekurangan kalium pada tanaman. Penampakan tanaman yang kekurangan unsur kalium memiliki daun yang keriting lama kelamaan menguning dan mati, buah yang lambat besar dan masak, biji buah yang mengkerut atau LaporanUji Kandungan Pada Makanan. A. Judul Kegiatan : Uji Makanan. B. Nilai Karakter : Komunikatif, kerja sama, teliti, rasa ingin tahu, tekun, jujur, dan tanggung jawab. C. Tujuan : Membuktikan suatu bahan makanan mengandung amilum, lemak, protein, dan glukosa. Makanan adalah bahan, biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan, dimakan oleh . Palm oil fronds is one of the wastes originating from the oil palm industry which are difficult to decompose. The right decomposer application is one of the success keys, if the oil palm fronds are processed into compost hence the expected quality of compost is achieved. This research aim was to determine the quality of oil palm fronds compost with Trichoderma harzianum and cow dung application based on N, P, K nutrients content, C-organic and C/N compost ratio. The research design used was factorial complete randomized design, the first factor was cow dung 0 kg, 1 kg, and 2 kg and the second factor was Trichoderma harzianum 0 g, 50 g, and 100 g. Research observations included compost temperature, compost pH, N, P, K, C-organic, and C/N compost ratios. The results showed that the application of cow dung, Trichoderma harzianum and their interactions had no significant effect on N, P, K nutrient content, C-organic, and C/N compost ratios, as a whole, the observed compost characteristics met compost criteria based on SNI 7030-200. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Sakiah Uji Kadar Hara Nitrogen, Fosfor, dan .... Jurnal AIP Volume 7 No. 2│ Oktober 2019 87-95 Uji Kadar Hara Nitrogen, Fosfor, dan Kalium pada Kompos Pelepah Kelapa Sawit dengan Pemberian Trichoderma harzianum dan Kotoran Sapi Study of Nitrogen, Phosphorus, and Potassium Nutrients Content in the Compost of Oil Palm Fronds with the Application of Trichoderma harzianum and Cow Dung Sakiah1*, Muhammad Yusuf Dibisono1, Susanti1 1 Program Studi Budidaya Perkebunan, STIPER Agrobisnis Perkebunan STIP-AP, Jl Williem Iskandar/Pancing, Medan. 20222, 2 Fakultas Pertanian, Universitas Al Wasliyah UNIVA, Jl. Sisingamangaraja KM. 5,5 No. 10 Harjosari I, Medan, 20147 E-mail sakiah ABSTRACT Palm oil fronds is one of the wastes originating from the oil palm industry which are difficult to decompose. The right decomposer application is one of the success keys, if the oil palm fronds are processed into compost hence the expected quality of compost is achieved. This research aim was to determine the quality of oil palm fronds compost with Trichoderma harzianum and cow dung application based on N, P, K nutrients content, C-organic and C/N compost ratio. The research design used was factorial complete randomized design, the first factor was cow dung 0 kg, 1 kg, and 2 kg and the second factor was Trichoderma harzianum 0 g, 50 g, and 100 g. Research observations included compost temperature, compost pH, N, P, K, C-organic, and C/N compost ratios. The results showed that the application of cow dung, Trichoderma harzianum and their interactions had no significant effect on N, P, K nutrient content, C-organic, and C/N compost ratios, as a whole, the observed compost characteristics met compost criteria based on SNI 7030-200. Keywords compost, national standard, quality DOI Diterima 23 April 2019 / Disetujui 12 September 2019 / Diterbitkan 15 Oktober 2019 PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan primadona masyarakat Indonesia, hal ini ditunjukkan dengan semakin luasnya perkebunan kelapa sawit nasional. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 12,3 juta hektar dan produksi tandan buah segar TBS 35,3 juta ton. Meningkatnya luas lahan perkebunan kelapa sawit diiringi dengan meningkatnya volume limbah yang dihasilkan, salah satunya yaitu pelepah yang bersumber dari hasil pruning penunasan tanaman kelapa sawit. Jurnal Agro Industri Perkebunan Jurnal AIP Volume 7 No. 2│ Oktober 2019 87-95 Penunasan merupakan upaya untuk mengatur jumlah pelepah yang perlu dipertahankan atau yang tinggal di pohon. Penunasan bertujuan untuk menjaga keseimbangan fisiologis tanaman dan sanitasi, memperlancar penyerbukan, memudahkan panen dan pengamatan matang panen, menghindari tersangkutnya brondolan di ketiak pelepah, dan mempermudah pembersihan piringan dan pemupukan Sutarta et al., 2003. Tanaman kelapa sawit mengeluarkan 18-30 pelepah setiap tahunnya, dimana 8-22 pelepah diantaranya terdapat buah dan lainnya tidak menghasilkan buah. Rerata pelepah yang dipotong setiap panen kelapa sawit adalah 1-3 pelepah jadi setiap bulannya ada 2-4 pelepah yang harus dipotong dengan bobot 5,40 kg per pelepah Darmosarkoro, 2012. Pelepah hasil penunasan dipotong menjadi 3 bagian, kemudian disusun di gawangan mati. Khusus pada areal bergelombang-berbukit pelepah disusun searah dengan kontur atau tegak lurus dengan arah lereng. Penunasan pelepah dilaksanakan dengan rotasi 10-12 bulan sekali Sutarta et al., 2003. Adanya penumpukan pelepah di sela-sela tanaman kelapa sawit khususnya di gawangan mati beberapa perkebunan kelapa sawit berpotensi menjadi sarang/inang bagi hama dan penyakit seperti beberapa jenis hama ulat dan kumbang pemakan daun, tikus, bahkan ular. Jenis-jenis penyakit utama kelapa sawit disebabkan oleh Ganoderma, Pythium, dan Rhizoctonia Risza, 2010. Kandungan unsur hara pada pelepah kelapa sawit yaitu N 2,6-2,9 %; P 0,16-0,19 %; K 1,1-1,3 %; Ca 0,5-0,7 %; Mg 0,3-0,45 %; S 0,25-0,40 %; Cl 0,5-0,7 % Syahfitri, 2008. Komponen penyusun terbesar pelepah kelapa sawit adalah holoselulosa 72,67 %; alfaselulosa 36,74 %; lignin 21,39 % dan pentosan 22,19 % Darmosarkoro, 2012. Berbagai penelitian telah dilakukan dalam usaha memaksimalkan pemanfaatan pelepah kelapa sawit antara lain sebagai bahan baku pakan ternak Rizali, Fachrianto, Ansari, & Wahdi, 2018, bahan baku briket arang Sarwono, Adinegoro, & Widarti, 2018, bahan baku bioethanol Rilek, Hidayat, & Sugiarto, 2017, bahan dasar produk bergaya etnik Andansari, Cahyadi, & Marlang, 2013, dan bahan baku kompos Yuniati, 2014 yang secara keseluruhan masih dalam proses penyempurnaan. Pelepah kelapa sawit berpotensi besar untuk dijadikan sebagai bahan baku pupuk kompos, namun karena bahan penyusun pelepah kelapa sawit terdiri dari bahan yang sulit terdekomposisi maka dibutuhkan perlakuan khusus untuk mempercepat proses dekomposisi pelepah kelapa sawit. Kompos berbahan baku pelepah kelapa sawit yang dihasilkan Yuniati 2014 menunjukkan hasil analisa kompos, rata-rata C-organik 40-41 %, kadar N 1,27-1,43 % dan rasio C/N 28,01–32,72. Berdasarkan SNI Kompos 19-7030-2004 bahwa nilai C-organik dan rasio C/N kompos belum sesuai kriteria SNI Kompos. Maka pada penelitian ini dilakukan pengomposan pelepah kelapa sawit menggunakan jamur Trichoderma harzianum serta kotoran sapi segar sebagai dekomposer. Trichoderma harzianum merupakan cendawan yang mempunyai aktivitas antagonistik yang tinggi terhadap cendawan patogen tular tanah. T. harzianum dapat diisolasi dari berbagai macam tanah dan dari permukaan akar tanaman serta dari kayu busuk atau serasah Suwahyono & Sakiah Uji Kadar Hara Nitrogen, Fosfor, dan .... Jurnal AIP Volume 7 No. 2│ Oktober 2019 87-95 Wahyudi, 2004. Beberapa spesies Trichoderma telah dilaporkan sebagai agen hayati seperti T. harzianum, T. viridae dan T. koningii yang berspektrum luas pada tanaman pertanian. Biakan jamur Trichoderma diberikan ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, serta dapat berlaku sebagai biofungisida yang berperan mengendalikan organisme patogen penyakit tanaman. Mengingat peran T. harzianum yang sangat besar dalam menjaga kesuburan tanah dan menekan populasi jamur patogen, T. harzianum memiliki potensi tinggi sebagai kompos aktif juga sebagai agen pengendali organisme patogen Herlina & Dewi, 2010. Keunggulan dalam penggunaan jamur T. harzianum adalah selain jamur ini bisa menghasilkan enzim yang dapat memecah selulosa menjadi glukosa, jamur ini juga dapat digunakan sebagai biofungisida yang ramah lingkungan karena tidak menimbulkan pencemaran atau berdampak negatif pada lingkungan melainkan dapat mengembalikan keseimbangan alamiah dan kesuburan tanah Soesanto, 2004. Agar penguraian pelepah kelapa sawit dapat efektif, maka dalam penelitian ini kotoran sapi segar diberikan sebagai sumber mikroba lainnya. Kotoran sapi mengandung mikroba yang berperan dalam dekomposisi hingga dapat menjadi kompos. Mikroba tersebut yaitu mikroba lignolitik, mikroba selulolitik, mikroba proteolitik, mikroba lipolitik, mikroba aminolitik, dan mikroba fiksasi nitrogen Sriatun, Hartutik, & Taslimah, 2009. Mikroba lignolitik yang terkandung dalam kotoran sapi berfungsi untuk memecah ikatan lignin menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga dekomposisi bahan organik menjadi lebih cepat Setiawan, 2010. Penelitian ini bertujuan untuk menguji mutu kompos pelepah kelapa sawit dengan pemberian T. harzianum dan kotoran sapi ditinjau dari kadar C-organik, kadar N, kadar P, kadar K, dan rasio C/N kompos. METODE PENELITIAN Penelitian berlangsung sejak April 2018 hingga Agustus 2018, pengomposan dilaksanakan di rumah kaca STIPER-Agrobisnis Perkebunan, dan pengujian sampel dilakukan di laboratorium Riset dan Teknologi Universitas Sumatera Utara. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktor pertama adalah kotoran sapi S terdiri dari 3 taraf yaitu S0= tanpa kotoran sapi, S1= kotoran sapi 1 kg dan S2= kotoran sapi 2 kg. Faktor kedua yaitu Trichoderma harzianum T terdiri atas 3 taraf yaitu T0= tanpa Trichoderma harzianum, T1= Trichoderma harzianum 50 g, dan T2= Trichoderma harzianum 100 g. Setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 27 satuan percobaan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan digunakan uji F pada taraf 5%. Apabila terdapat pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati, maka setiap perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji Beda Nyata Jujur BNJ pada taraf 5%. Jurnal Agro Industri Perkebunan Jurnal AIP Volume 7 No. 2│ Oktober 2019 87-95 Bahan yang digunakan adalah pelepah kelapa sawit yang berasal dari kebun praktek STIP-AP Medan. Jamur T. harzianum berasal dari Balai Proteksi Tanaman Hortikultura Sumatera Utara, kotoran sapi berasal dari Dusun 1 Tambak, Pasar 1 Rejo, Kec. Percut Sei Tuan. Alat yang digunakan yaitu timbangan, mesin pencacah, ember, thermometer, pH meter, spektrometer, buret dan alat-alat laboratorium pendukung lainnya. Adapun proses pengomposan yang dilakukan yaitu pelepah kelapa sawit dari bagian rachis batang tempat munculnya daun dan leaflets daun yang masih segar dicincang dengan ukuran 1-2 cm menggunakan mesin pencacah. Pelepah yang digunakan untuk satu perlakuan 4 kg, secara keseluruhan dibutuhkan 14 pelepah. Selanjutnya dilakukan pengaplikasian jamur T. harzianum dan kotoran sapi sesuai dengan perlakuan. Jamur T. harzianum yang digunakan adalah yang dibiakkan pada media jagung dengan masa inkubasi 7 hari, kerapatan T. harzianum 106. Aplikasi dekomposer dilakukan dengan mencampur terlebih dahulu T. harzianum dengan kotoran sapi dan diinkubasi selama 2 hari, kemudian dicampurkan dengan pelepah kelapa sawit yang telah dicacah dan dimasukkan ke dalam ember pengomposan. Bahan kompos yang telah dicampur diberi air untuk melembabkan bahan. Pembalikan kompos dilakukan 1x seminggu, pengomposan berlangsung selama 8 minggu. Pengamatan terhadap suhu dan kelembaban kompos dilakukan satu kali seminggu. Suhu kompos diukur dengan termometer dan kelembaban kompos diukur dengan cara meremas kompos. Jika ada air yang menetes dari kompos menandakan bahwa kadar air kompos berlebih, tapi jika kompos terlalu kering maka ditambahkan air hingga kondisi kompos lembab. Pemanenan kompos dilakukan setelah 8 minggu pengomposan dengan kriteria kompos berwarna coklat kehitaman, remah, dan tidak berbau. Selanjutnya diambil sampel kompos dari setiap perlakuan dan ulangan. Kompos diambil dari bagian atas, tengah dan bawah lalu dijadikan satu. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu suhu kompos diamati setiap minggu selama 8 minggu menggunakan termometer, pH diamati setiap minggu selama 8 minggu menggunakan pH meter pocket, C-Organik dianalisis dilaboratorium menggunakan metode Walkley and Black, kadar N dianalisis dengan metode Kjeldahl, P dianalisis dengan metode Spectrofotometry, dan K dianalisis dengan metode Flamefotometry. Rasio C/N merupakan hasil pembagian kadar C-organik dengan kadar N. HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu kompos Suhu kompos selama 8 minggu pengomposan disajikan pada Tabel 1. Selama proses pengomposan suhu rata-rata pada minggu pertama hingga minggu kedelapan antara 33o C hingga 36o C. Suhu pada pengomposan tidak mencapai fase termofilik 45o C-65o C, hal ini disebabkan Sakiah Uji Kadar Hara Nitrogen, Fosfor, dan .... Jurnal AIP Volume 7 No. 2│ Oktober 2019 87-95 tumpukan kompos tidak mencapai tinggi tumpukan kompos yang optimum yaitu 1-2,2 m. Suhu diawal pengomposan 35o C dan pada akhir pengomposan 33o C, ini menunjukkan adanya aktivitas mikroba dalam mendekomposisi bahan organik sehingga menghasilkan energi dalam bentuk panas, CO2 dan uap air Asyeerem, 2012. Selama proses pengomposan dilakukan pengadukan seminggu sekali pada setiap perlakuan dengan tujuan untuk meningkatkan aerasi. Pembalikan timbunan kompos membantu pencampuran dan pelonggaran serta aerasi timbunan, dan menurunkan secara perlahan hingga stabil Sutanto, 2002. Stabilnya suhu diduga karena seluruh tumpukan kompos sudah mengalami fase pendinginan dan kematangan yang ditandai dengan turunnya temperatur dari temperatur puncak menuju kestabilan Indrawaty, 2017. Tabel 1. Rataan suhu kompos pelepah kelapa sawit dengan pemberian kotoran sapi dan T. harzianum Keterangan MSP = minggu setelah pengomposan Nilai pH kompos Rataan pH kompos pelepah kelapa sawit dengan pemberian kotoran sapi dan T. harzianum selama 8 minggu terdapat pada Tabel 2. Rataan pH kompos pada minggu ke-1 dan ke-2 berkisar 8,2-8,3 selanjutnya menurun pada setiap minggunya. Kenaikan pH dapat disebabkan karena adanya aktivitas mikroorganisme yang menguraikan bahan organik. Nilai pH kompos yang naik menunjukkan bahwa adanya amonia dan aktivitas mikroba yang mempengaruhi kenaikan pH kompos Komarayati, Mustaghfirin, Sofyan, 2018. Pada minggu ke-3 sampai dengan minggu ke-8, rataan pH kompos menurun hingga berkisar 7,3-7,8. Penurunan pH kompos dikarenakan terjadinya proses perombakan bahan organik dan menghasilkan senyawa asam sehingga menyebabkan pH menurun Pulungan, Lubis, Zahara, & Fairuzah, 2017. Jurnal Agro Industri Perkebunan Jurnal AIP Volume 7 No. 2│ Oktober 2019 87-95 Tabel 2. Rataan pH kompos pelepah kelapa sawit dengan pemberian T. harzianum dan kotoran sapi Keterangan MSP = minggu setelah pengomposan Kadar C-Organik, kadar N, rasio C/N, kadar P, dan K kompos Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian kotoran sapi S dan Trichoderma harzianum T serta interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap kadar C-organik, kadar N, kadar P, kadar K, dan rasio C/N kompos pelepah kelapa sawit. Rataan kadar C-organik, kadar N, kadar P, kadar K, dan rasio C/N kompos pelepah kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan kadar C-Organik, N, P, K dan rasio C/N kompos Kadar C-organik, N, P, K dan rasio C/N kompos pelepah kelapa sawit berpengaruh tidak nyata pada semua perlakuan. Hal yang sama pada pembuatan kompos pelepah kelapa sawit menggunakan dekomposer MOL yang terbuat dari jeruk, mangga, nanas, dan pepaya menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada pengamatan rasio C/N, pH dan rendemen kompos Surya & Suyono, 2013. Demikian juga dengan pengomposan pelepah daun kelapa sawit menggunakan dekomposer indegenous diambil dari tumpukan pelepah di lapangan, diperolah jenis Trichoderma asperellum, dekomposer komersil juga menunjukkan kadar C, N, P, K rasio C/N, dan pH tidak Sakiah Uji Kadar Hara Nitrogen, Fosfor, dan .... Jurnal AIP Volume 7 No. 2│ Oktober 2019 87-95 berbeda nyata antar perlakuan Yuniati, 2014. Pada proses pengomposan, karbon dibutuhkan oleh mikroba sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya dan nitrogen untuk sintetis protein Hidayati et al., 2011. Namun, kemampuan mikroba dekomposer dapat terhambat perkembangannya oleh sulitnya bahan kompos didekomposisi. Bahan utama kompos pada penelitian ini adalah pelepah kelapa sawit, yang mana penyusun pelepah kelapa sawit berasal dari bahan yang sulit terdekomposisi seperti holoselulosa, alfaselulosa, lignin dan pentosan Darmosarkoro, 2012. Nilai rerata kadar komponen kimia pada pelepah sawit varietas tenera menurut bagiannya dari pangkal, tengah, ujung berturut-turut dengan rerata lignin 20,7%, 18,95 %, 16,69%, holoselulosa 81,57 %, 80,33 %, 79,24 % dan alfaselulosa 44,57 %, 43,56 %, 43,26 % Arpinaini, Sumpono, & Yahya, 2017. Faktor yang membatasi pertumbuhan mikroba adalah kadar nitrogen dan bahan dasar kompos yang mempunyai rasio C/N yang besar Hidayati et al., 2011. Proses dekomposisi baik secara aerob maupun anaerob akan menghasilkan hara dan humus, proses bisa berlangsung jika tersedia N, P dan K. Penguraian berlangsung cepat apabila perbandingan antara kadar C-organikNPK dalam bahan terurai setara 3010,10,5 Gaur, 1980. Standar Kualitas Kompos Mengacu pada standar kualitas kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004, kadar C-organik, N, P, K, dan rasio C/N kompos dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kulitas kompos pelepah kelapa sawit berdasarkan SNI 19-7030-2004 Berdasarkan SNI 19-7030-2004, kompos yang dihasilkan pada penelitian ini memenuhi standar kualitas kompos ditinjau dari kadar C-organik, N, P, K serta rasio C/N kompos. Kompos merupakan salah satu pupuk organik yang memiliki fungsi kimia yang penting seperti penyedia unsur hara makro dan mikro meskipun jumlahnya relatif sedikit, meningkatkan kapasitas tukar kation KTK tanah dan dapat membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman seperti Al, Fe dan Mn Hidayati et al., 2011. Mikroba aktif yang terdapat dalam kompos juga dapat berperan dalam meningkatkan ketersediaan unsur hara. Unsur hara makro pada pupuk kandang yang ditambahkan dalam proses pengomposan, diduga hanya sebagian saja yang dipergunakan oleh bakteri pengurai. Sisa unsur makro yang tidak dimanfaatkan oleh bakteri tetap bercampur pada kompos, yang selanjutnya berfungsi sebagai penambah unsur hara dalam kompos Jurnal Agro Industri Perkebunan Jurnal AIP Volume 7 No. 2│ Oktober 2019 87-95 yang dihasilkan Yuniati, 2014. Selain itu, Trichoderma sp. yang juga dimanfaatkan sebagai dekomposer dapat membentuk simbiosis mutualisme dengan tanaman karena kemampuan strain Trichoderma untuk berkembang biak dan fungsinya dalam mengontrol patogen akar Harman, Howell, Viterbo, Chet, & Lorito, 2004. KESIMPULAN Pemberian kotoran sapi dan Trichoderma harzianum pada pengomposan pelepah kelapa sawit berpengaruh tidak nyata terhadap kadar C-organik, N, P, K dan rasio C/N kompos. Bahan dasar kompos sangat mempengaruhi hasil pengomposan. Mengacu pada SNI 19-7030-2004, kadar C-organik, N, P, K, dan rasio C/N kompos yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu kompos. DAFTAR PUSTAKA Andansari, D., Cahyadi, D. & Marlang, H. A. 2013. Pemanfaatan limbah pelepah kelapa sawit untuk bahan dasar pembuatan produk fungsional bergaya etnik Dayak di Kalimantan Timur. Seminar Nasional Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi pp. 44-49. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional. Arpinaini, A., Sumpono, S., & Yahya, R. 2017. Studi komponen kimia pelepah sawit varietas tenera dan pengembangannya sebagai modul pembelajaran kimia. PENDIPA Journal of Science Education, 11, 1-11. Asyeerem, F. 2012. Pemanfaatan agen hayati Trichoderma dan bakteri pada pengomposan Ageratum conyzoides, Thitonia diversifolia Hemsley. A. Gray dan ampas tebu. Jurnal Agrotek 33, 15-24. Darmosarkoro, W. 2012. Integrasi Sawit Sapi dan Energi. Medan Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Gaur, A. 1980. A manual of Rural Composting. Project Field Document No 15. United Nations Food and Agriculture Organization. Harman, G. E., Howell, C. R., Viterbo, A., Chet, I., & Lorito, M. 2004. Trichoderma species—opportunistic, avirulent plant symbionts. Nature reviews microbiology, 21, 43-56. Sriatun, S., Hartutik, S., & Taslimah, T. 2009. Pemanfaatan Limbah Penyulingan Bunga Kenanga sebagai Kompos dan Pengaruh Penambahan Zeolit terhadap Ketersediaan Nitrogen Tanah. Jurnal Kimia Sains dan Aplikasi, 121, 17-22. Herlina, L. & Dewi, P. 2010. Penggunaan kompos aktif trichiderma harzianum dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai. Sains dan Teknologi, 11-17. Hidayati, Y. A., Kurnani, T. B. A., Marlina, E. T., & Harlia, E. 2011. Kualitas Pupuk Cair Hasil Pengolahan Feses Sapi Potong Menggunakan Saccharomyces cereviceae Liquid Fertilizer Quality Produced by Beef Cattle Feces Fermentation Using Saccharomyces cereviceae. Jurnal Ilmu Ternak, 112, 104-107. Indrawaty, V. 2017. Pengaruh Penggunaan Urin Sebagai Sumber Nitrogen Terhadap Bentuk Fisik dan Unsur Hara. Jambi Universitas Jambi. Sakiah Uji Kadar Hara Nitrogen, Fosfor, dan .... Jurnal AIP Volume 7 No. 2│ Oktober 2019 87-95 Komarayati, S., Mustaghfirin, M., & Sofyan, K. 2018. Kualitas Arang Kompos Limbah Industri Kertas dengan Variasi Penambahan Arang Serbuk Gergaji The qualities of Compost Charcoal Manufactured from Paper-mill Waste with Varying Addition of Charcoal Sawdust. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, 52, 78-84. Pulungan, M. H., Lubis, L., Zahara, F., & Fairuzah, Z. 2014. Uji efektifitas Trichoderma harzianum dengan formulasi granular ragi untuk mengendalikan penyakit jamur akar putih Rigidoporus microporus Swartz Fr. Van Ov pada tanaman karet di pembibitan. Agroekoteknologi, 22, 497-512. Rilek, N. M., Hidayat, N., & Sugiarto, Y. 2017. Hidrolisis Lignoselulosa Hasil Pretreatment Pelepah Sawit Elaeis guineensis Jacq menggunakan H2SO4 pada Produksi Bioetanol. Industria Jurnal Teknologi dan Manajemen Agroindustri, 62, 76-82. Risza, S. 2010. Masa depan perkebunan kelapa sawit Indonesia. Yogyakarta Kanisius. Surya, R. E., & Suyono. 2013. Pengaruh pengomposan terhadap rasio C/N kotoran ayam dan kadar hara NPK tersedia serta kapasitas tukar kation tanah. Unesa Journal of Chemistry, 21, 137-144. Rizali, A., Fachrianto, F., Ansari, M. H., & Wahdi, A. 2018. pemanfaatan limbah pelepah dan daun kelapa sawit melalui fermentasi Trichoderma sp. sebagai pakan sapi potong. EnviroScienteae, 141, 1-7. Samudro, G., Syafrudin, S., & Sujiwo, B. 2012 Pemanfaatan lumpur aktif dan EM4 sebagai aktivator dalam proses pengomposan limbah kulit bawang dengan sludge. Jurnal Presipitasi Media Komunikasi dan Pengembangan Teknik Lingkungan, 92, 51-63. Sarwono, E., Adinegoro, M. B., & Widarti, B. N. 2018. Pengaruh variasi komposisi batang, pelepah, dan daun tanaman kelapa sawit terhadap kualitas briket bioarang. Teknologi Lingkungan, 21, 11-22. Setiawan, B. 2010. Membuat Pupuk Kandang Secara Cepat. Jakarta Penebar Swadaya. Soesanto, L. 2004. Ilmu Penyakit Pasca Panen. Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta Kanisius. Sutarta, E. S., W. Darmosarkoro, D. Asmono, A. Susanto, S. Prawirosukarto., R. Y. Purba & P. Purba. 2003. Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit Menghasilkan. Dalam P. P. Sawit, Budidaya Kelapa Sawit hal. 6-3;6-4. Medan Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Suwahyono, U. & Wahyudi, P. 2004. Penggunaan Biofungisida pada Usaha Perkebunan. Dipetik Agustus 2018, dari http//. Syahfitri, M. M. 2008. Analisa Unsur Hara Fosfor P pada Daun Kelapa Sawit Secara Spektrofotometri di Pusat Penelitian Kelapa Sawit PPKS Medan. Yuniati, S. 2014. Pengomposan Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Biodekomposer Berbeda serta Pemanfaatannya Sebagai Amelioran. Bogor Institut Pertanian Bogor. Ratih RahhutamiAline Sisi HandiniDwi AstutikAbstrakPemanfaatan limbah organik dari perkebunan sebagai media tanam pakcoy Brassica chinensis L. diharapkan dapat ditingkatkan dengan penggunaan pupuk organik serta pupuk hayati. Penelitian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok RAK pola faktorial. Faktor pertama adalah dosis asam humat meliputi 1, 3, dan 5 g. Faktor kedua adalah dosis Trichoderma sp., meliputi 50, 100, dan 150 mL. Data yang diperoleh kemudian dianalisis ragam pada taraf nyata 5%. apabila terdapat pengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji DMRT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi asam humat dan Trichoderma sp. memiliki pengaruh mandiri dan tidak terdapat interaksi. Dosis asam humat 3 g per tanaman menghasilkan jumlah daun, panjang daun, tinggi tanaman, tinggi tanaman, bobot basah, dan bobot kering tanaman lebih tinggi dibanding dosis 1 dan 5 g. Perlakuan Trichoderma sp. dosis 50 mL per tanaman memiliki pengaruh lebih baik terhadap jumlah daun, panjang daun, tinggi tanaman, dan bobot basah Kunci hortikultura, jamur, morfologi, senyawa organik Abstract The utilization of organic farm estate as pakcoy Brassica chinensis L. growing media may improved by using biofertilizer and organic fertilizer. The research used factorial randomized block design. First factor was humic acid dosage, which included 1, 3, and 5 g of humic acid. Second factor was Trichoderma sp. dosage, which included 50, 100, and 150 mL of Trichoderma sp. Data were analyzed using ANOVA at 5% level, then continued by DMRT test. The results showed that the application of humic acid and Trichoderma sp. had single effects and there was no interaction. The dosage of humic acid 3 g per plant had higher number of leaves, leaf length, plant height, wet weight, and dry weight than other dosages. The treatment of Trichoderma sp. at dosage of 50 mL per plant had a better effect on the number of leaves, leaf length, plant height, and plant wet fungi, horticulture, morphology, organic compounds Sriatun SriatunSri HartutikTaslimah TaslimahPenelitian tentang pemanfaatan limbah distilasi bunga kenanga sebagai kompos dan pengaruh penambahan zeolit terhadap ketersediaan nitrogen di dalam tanah telah dilakukan. Pembuatan kompos dilakukan dengan metode penumpukan. Dilakukan tiga variasi perlakuan terhadap penyulingan limbah kenanga, yaitu 1 ditambahkan oleh EM4, 2 ditambahkan oleh EM4 dan serbuk gergaji 3 tanpa penambahan sebagai kontrol. Variabel fisik seperti suhu, bau dan warna divariasi pada saat proses pengomposan. Analisis kimia berupa rasio C/N dilakukan terhadap kompos yang telah matang. Setelah itu, kompos ditambahkan zeolit dengan variasi jumlah yaitu 2%, 4% dan 6% dari berat kompos, kemudian diberikan pada tanaman jagung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompos yang dibuat dari distilasi limbah bunga kenanga dan ditambah dengan EM4 yang mencapai suhu optimum pada suhu 39°C, siap dipanen setelah 21 hari dan memiliki rasio C/N sekitar 11,61. Sementara itu, kompos dengan penambahan EM4 dan serbuk gergaji dapat mencapai suhu optimum 45°C dan siap panen setelah 20 hari dan memiliki rasio C/N sekitar 43,81. Sedangkan kompos tanpa penambahan, suhu optimum tercapai pada suhu 37°C dan siap panen setelah 43 hari dengan rasio C/N sekitar 16,18. Penggunaan kompos yang ditambahkan zeolit pada tanaman jagung dapat meningkatkan laju nitrogen di tanah. Penambahan zeolit 2% meningkatkan nitrogen sebesar 0,96%, zeolit 4% equal to and zeolite 6% equal to Akhmad RizaliFachrianto FachriantoM. Hafiz AnsariAnis WahdiThe dependence on imports of feed ingredients for ration composer are increasingly expensive and availability of limited and unsustainable local feed, causing the low level of production and reproduction of local Indonesian cattle. This study aims to exploit the potential of plantation waste as an alternative feed of beef cattle, increase the nutrient value and digestibility of waste of palms and leaves and to know the optimal use of inoculums Trichoderma sp. through fermentation in improving the digestibility and nutritional value of the feed. The research method used was a complete randomized design RAL with five treatments and three replications, with 14 days fermentation. The research treatment includes PD 0 without Trichoderma/control, PD 1 fermentation using Trichoderma viride 3 ml, PD 2 fermentation using Trichoderma viride 6 ml, PD 3 fermentation using Trichoderma harzianum 3 ml, PD 4 fermentation using Trichoderma harzianum 6 ml.O Observation parameters observed included dry matter DM, crude protein CP, ash content AC, coarse fat CF, organic matter OM, and total digestible nutrient TDN. The data obtained were analyzed using variance analysis. The results showed that the best treatment was found in PD 1, had a significant effect on control in increasing total digestible nutrient TDN and crude fiber decline by although an increase in CP was not equal to the treatment of the PD 4 While the best increase of CP content was found in the treatment of PD 4 of While the best CP content found in the treatment of PD 4 of It was concluded that the use of Trichoderma viride and Trichoderma harzianum can improve the quality of waste nutrient and palm oil leaves by fermentation and the optimal inoculums dose used to produce the best fermentation is the use of Trichoderma sp. 3 ml in 3kg of Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pegaruh konsentrasi asam dan waktu hidrolisis terhadap kadar gula total serta kadar gula reduksi. Metode penelitian yang digunakan adalah Rancang Acak Kelompok RAK faktorial 2 faktor yaitu konsentrasi H2SO4 dan lama waktu hidrolisis. Faktor pertama terdiri dari tiga level yaitu 0,4M, 0,6M dan 0,8M, sedangkan faktor kedua terdiri dari tiga level yaitu 60 menit, 80 menit dan 100 menit dari rancangan tersebut diperoleh sembilan kombinasi. Pada setiap kombinasi dilakukan tiga ulangan 27 sampel. Selanjutnya, dilakukan uji kadar gula total menggunakan refraktometer dan kadar gula reduksi menggunakan Nelson Somogyi. Data kemudian dianalisis menggunakan ANOVA dan uji DMRT 5%. Hasil pengamatan menunjukkan kandungan gula total tertinggi saat proses hidrolisis adalah perlakuan H2SO4 0,6M dengan waktu 100 menit yaitu 10,7%. Berdasarkan uji Anova dan DMRT5% bahwa kedua faktor perlakuan berpengaruh signifikan terhadap kadar gula dan berbeda nyata. Gula reduksi yang dihasilkan pada proses hidrolisis sebesar 19,29%. Dari bahan tersebut didapatkan etanol hasil fermentasi sebesar 4%. Kata kunci bioetanol, gula, hidrolisis, pelepah sawit Abstract The purpose of this research was to determine the effect of acid concentrations and hydrolysis time. Randomized Completely Block Design were arranged in a factorial with two factors H2SO4 concentrations were and hydrolysis time were 60 minutes, 80 minutes, 100 minutes. Each combination repeated three times. Samples were tested of total sugar content using refractometer and were tested of reducing sugar using Nelson Somogyi. Data were analyzed used two-ways ANOVA and conducted further test using the DMRT 5%. The result showed that the highest total sugar content is in the treatment of H2SO4 concentration and hydrolysis time 100 minutes. Based on ANOVA and DMRT test, all factors had significantly effect of the percentage of sugar. Beside that, in this research also have reduction sugar about from sugar content of result hydrolysis process. Pretreatment oil palm frond using H2SO4 was produced 4% etanol after fermentation. Keywords bioetanol, hydrolysis, oil palm frond, sugarTrichoderma spp. are free-living fungi that are common in soil and root ecosystems. Recent discoveries show that they are opportunistic, avirulent plant symbionts, as well as being parasites of other fungi. At least some strains establish robust and long-lasting colonizations of root surfaces and penetrate into the epidermis and a few cells below this level. They produce or release a variety of compounds that induce localized or systemic resistance responses, and this explains their lack of pathogenicity to plants. These root-microorganism associations cause substantial changes to the plant proteome and metabolism. Plants are protected from numerous classes of plant pathogen by responses that are similar to systemic acquired resistance and rhizobacteria-induced systemic resistance. Root colonization by Trichoderma spp. also frequently enhances root growth and development, crop productivity, resistance to abiotic stresses and the uptake and use of ArpinainiSumpono Sumpono Ridwan YahyaThis study aims to 1 determine the levels of the components of the Tenera variety of palm oil compounds including extractives, holocellulose, ? - cellulose, and lignin. 2 Analyze the utilization of the pulp of Tenera varieties as pulp raw materials based on their chemical components; 3 application of chemistry learning module to improving student learning outcomes. Determination of extractive substance content with TAPPI test methods Q 204; lignin content T 222; holocellulose Q 9 levels and ?-cellulose content with TAPPI test methods T 204. then lignin, holocellulose and ?-cellulose produced from the procedure were characterized by an IR spectrophotometer. The results of the study were module and implemented in ICHO students in SMAN 2 Kota Bengkulu. The data of the research results were analyzed by ANOVA test at 5% level. The results of the characterization of lignin, holocellulose and ?-cellulose with FTIR obtained a distinctive peak of the respective functional groups of the macromolecules. From the research also obtained the average value of chemical component content on the palm velvet varieties of tenera according to their part of base, middle, ends with mean for extractive substance 7,87%, 6,74%, lignin 20,7 %, holocellulose and ?- cellulose Based on the results of the variance analysis, the difference in position base, center, tip on the palm oil of the tenera varieties on extractive, lignin, holocellulose and ?-cellulose substances has significant differences. Based on the chemical component classification of Indonesian wide wood leaf, sheep betera varieties of tenera in all three positions are used as pulp raw materials because they have moderate lignin content, high levels of Holocellulose and moderate levels of ?-cellulose. The result of module implementation in students there is a significant difference between pretest and posttest value. The use of modules in learning in science groups can improve student learning KomarayatiKurnia SofyanThe development of paper and pulp industry cause waste handling problem. A kind of waste that needs serious attention is sludge. Sludge handling by burning causes air pollution problem, while land filling need much more infestations and areas. Therefore, composting believed as the most effective way to handle sludge. The objective of this research is to increase sludge product utility and to know quality of compost charcoal from sludge. The materials used are sludge from PT Indah Kiat Pulp and Paper Tangerang, Banten, saw dust, saw dust charcoal, and particular bio- activators called OrgaDec were used to stimulate the decomposition of those materials. The methods used are total carbon, nitrogen, phosphor P2O5, kalium K2O, magnesium MgO, cation exchange capacity CEC and total Calcium CaO. The best composting pH and temperature is treatment without charcoal addition. The treatment made pH and temperature goes down by charcoal addition. Analysis quality of compost charcoal show that charcoal addition will cause increasing of CEC and decreasing C/N Mastura Syahfitri09E00398 Telah dilakukan analisa unsur hara fosfor P pada daun kelapa sawit di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. Penentuan kadar fosfor P dalam daun kelapa sawit dilakukan dengan metode Spektrofotometri UV-Visible. Hasil analisa menunjukkan bahwa kadar fosfor yang diperoleh adalah 0,139% - 0,150% dalam daun kelapa sawit. Dari hasil ini menunjukkan bahwa kadar fosfor dalam daun kelapa sawit masih kurang, belum mencukupi standar yang telah ditentukan yaitu antara 0,16%-0,19%. Have been conducted by analysis element of hara phosphorus P at palm leaf in Indonesian Oil Palm Research Institute at Medan. Determination of phosphorus rate P in palm leaf conducted with method of Spektrofotometri UV-Visible. Result of analysis indicate that phosphorus rate the obtained is 0,139% - 0,150% in palm leaf. Of this result indicate that phosphorus rate in palm leaf still less, answer the demand of standard which have been determined by that is between 0,16%-0,19%. Drs. Firman Sebayang MSPemanfaatan limbah pelepah kelapa sawit untuk bahan dasar pembuatan produk fungsional bergaya etnik Dayak di Kalimantan Timur. Seminar Nasional Rekayasa Teknologi Industri dan InformasiD AndansariD CahyadiH A MarlangAndansari, D., Cahyadi, D. & Marlang, H. A. 2013. Pemanfaatan limbah pelepah kelapa sawit untuk bahan dasar pembuatan produk fungsional bergaya etnik Dayak di Kalimantan Timur. Seminar Nasional Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi pp. 44-49. Sekolah Tinggi Teknologi agen hayati Trichoderma dan bakteri pada pengomposan Ageratum conyzoides, Thitonia diversifolia Hemsley. A. Gray dan ampas tebuF AsyeeremAsyeerem, F. 2012. Pemanfaatan agen hayati Trichoderma dan bakteri pada pengomposan Ageratum conyzoides, Thitonia diversifolia Hemsley. A. Gray dan ampas tebu. Jurnal Agrotek 33, Field Document No 15. United Nations Food and Agriculture OrganizationA GaurGaur, A. 1980. A manual of Rural Composting. Project Field Document No 15. United Nations Food and Agriculture Organization. Idealnya, petani sebelum bertanam sudah tahu keadaan kandungan hara esensial dalam tanah yang akan ditanami. Apakah cukup atau apa yang kurang. Diagnosa dengan uji laboratoris pertanyaan itu dapat terjawab, tetapi butuh biaya yang bagi petani kecil umumnya di luar jangkauan. Lagi pula prosedur dan pelaksanaan perlu waktu cukup lama. Mengetahui status hara esensial dalam tanah sebelum ditanami penting karena kekurangan salah satu hara esensial, makro ataupun mikro, akan menimbulkan akibat negatif tertentu pada tanaman, pertumbuhan atau hasilnya. Kebutuhan tersebut tampaknya kini sudah dapat dipenuhi dengan mudah, murah dalam jangkauan petani kecil. Kabar gembira itu berupa kemunculan teknik baru uji kandungan hara esensial dalam tanah yang dinamai Minus-One Element Technique MOET. MOET dirancang oleh pakar agronomi Dr. Cesar Mamaril, yang setelah pensiun dari Pusat Riset Padi Internasional IRRI bekerja selama 17 tahun sebagai konsultan senior tanah dan agronomi pada Philippine Rice Research Institute PhilRice. Di PhilRice, ia besama rekan sekerja mengembangkan dan mengaplikasikan MOET untuk pertanian padi di dataran rendah. Dalam satu uraian yang dimuat Majalah RiceToday edisi terbaru, Dr. Mamaril menekankan kegunaan dan manfaat teknik hara minus satu yang dirancangnya. Dari 16 hara esensial yang dibutuhkan tanaman, 13 jenis diperoleh dari tanah yakni nitrogen N, posfor P, kalium K, kalsium Ca, magnesium Mg, sulfur S, tembaga Cu, besi Fe, mangan Mn, seng Zn, dan boron Bo. Tiga lainnya dari udara dan air, yakni karbon C, hidrogen H, dan oksigen O. Kekurangan salah satu hara esensial ini akan menyebabkan tanaman tidak tumbuh normal. Tanaman menyerap hara dari tanah atau air dalam tanah sehingga hara yang tertinggal akan berkurang karena hasil atau juga limbah tanaman terbawa keluar lahan. Untuk memenuhi kecukupan hara maka dilakukan pemupukan pada tanah. Masalahnya pemupukan seolah sudah menjadi rutinitas memenuhi resep anjuran, tidak secara terukur jumlah dan terpilih jenis hara sesuai dengan status hara masing-masing dalam tanah. Untuk menghemat penggunaan pupuk maka informasi tentang hara mana yang kurang pada tanah yang akan ditanami menjadi penting. Apalagi aplikasi pupuk yang berlebihan akan merugikan lingkungan. Konsep MOET Dengan konsep MOET dimaksudkan agar petani cukup menambahkan saja hara yang berdasarkan analisis kurang pada tanah yang akan ditanami. Informasi tentang hara esensial yang kurang dapat dideteksi dengan cara melakukan formulasi pemupukan yang pada setiap pemupukan ada satu unsur hara yang tidak diikutkan teknik minus satu unsur hara/MOET. Dengan tidak memberikan satu jenis hara akan dilihat apa dampaknya pada pertumbuhan tanaman. Itu dipraktekkan pada contoh-contoh tanah yang diambil dari lahan pertanaman. Pada kit MOET yang digunakan pada pertanian padi di dataran rendah Pilipina, formulasi pemupukan MOET dibatasi pada unsur-unsur hara untuk N, P, K, S, Zn dan Cu. Alasannya adalah bahwa di bagian terbesar pertanian padi dataran rendah Pilipina keenam unsur hara itu selalu kurang. Jadi disusun 7 formulasi pemupukan sebagai uji status hara tanah, yakni Minus N tidak mengandung N tetapi lima hara lainnya ada; Minus P; Minus K; Minus S; Minus Zn; Minus Cu; dan Lengkap semua ke enam unsur hara ada. Pelaksanaannya sederhana saja. Wadah uji menggunakan pot-pot atau wadah plastik yang dapat menampung 4 kg sampel tanah basah jumlah pot sama dengan jumlah formulasi pemupukan. Dari lahan satu hektar yang cukup seragam sebaiknya diambil secara sampel tanah dari 35 lokasi. Untuk lahan yang tingkat kesuburan bergradasi seperti lahan miring diperlukan sampel dari lebih banyak lokasi. Sampel diambil sebelum tanah diolah/dibajak. Bibit yang berumur 12 hari sebanyak paling sedikit 5 batang lalu ditanam ke dalam masing-masing pot dengan formulasi pemupukan masing-masing. Tanah dibiarkan tetap basah tetapi tidak tergenang air hingga tanaman sudah cukup mantap. Pengairan semua tanaman dilakukan dengan air dari sumber yang sama dengan yang digunakan pada lahan pertanian padi yang dikelola. Sesudah 10 hari, sebagian tanaman padi dalam pot dicabut, tinggalkan hanya dua batang yang dinilai terbaik. Bukti Visual Dalam 30 hari setelah pindah tanam bibit ke pot sudah akan terbukti secara visual perbedaan pertumbuhan tanaman antara pot. Juga bida dibandingkan pada tanaman di pot dengan formulasi pemupukan lengkap. Dapat disaksikan mana yang tumbuh baik, mana yang kurang baik dan di pot dengan formulasi mana yang minus hara apa. Bisa disimpulkan tanaman dalam pot yang mana kekurangan unsur hara apa. Atau tanah dari lokasi mana kekurangan unsur hara apa. Bila tanaman pada semua pot berisi tanah sampel dari satu lokasi bagus dan seragam pertumbuhannya, maka tanah di lokasi bersangkutan tidak kekurangan unsur hara yang masuk dalam formulasi. Untuk memperoleh ketepatan analisa yang lebih akurat, sesudah 45 hari sejak pindah tanaman padi dalam pot dicabut dan biomasanya ditimbang. Dengan bukti visual demikian, petani akan tahu tanah di lokasi mana yang perlu diberi pemupukan unsur hara apa. Petani tinggal memilih unsur hara mana yang masih perlu ditambahkan sesuai dengan takaran sesuai anjuran para penyuluh pertanian. Selain hemat biaya, penggunaan sistem analisis hara tanah MOET juga mengurangi dampak merugikan pupuk terhadap lingkungan serta menambah hasil dan pendapatan bagi petani. Harus diakui model uji MOET ini merupakan temuan sangat cerdas tetapi sederhana, murah dan mudah serta dapat dapat dilakukan sendiri oleh petani kecil. Dr. Mamaril mengaku merancang konsep MOET itu ketika masih bekerja sebagai peneliti IRRI yang bertugas di Indonesia. Kit MOET kini tersedia bagi peminat dengan harga sekitar 4 dolar AS di Philippine Rice Research Institute. Olson PS Untuk berlangganan Tabloid Sinar Tani Edisi Cetak SMS / Telepon ke 081317575066 Editor Makmun Hidayat Salah satu cara mendeteksi unsur hara dalam tanah melalui kondisi fisik tanaman, yang disampaikan Peneliti Kimia dan Kesuburan Tanah, Balai Penelitian Tanah, Ir. A. Kasno, MSi, dalam bimbingan teknis online, Senin 16/8/2021. -Foto Ranny Supusepa Hal ini akan menghindari penurunan produktivitas lahan pertanian, yang mulai terjadi sejak tahun 1987. “Penurunan ini merupakan hasil dari kurangnya asupan bahan organik, pencemaran bahan kimia, kerusakan sifat tanah hingga kerusakan lingkungan akibat penggunaan pupuk kimia berlebih,” urainya. Untuk melakukan deteksi hara, yang perlu dilakukan adalah pengamatan defisiensi hara di lapangan, mengetahui jenis tanah dan iklim, mengetahui peta status hara P dan K di tanah, analisis status hara dengan tes kit serta menggunakan soil sensor. “Deteksi ini dapat dilakukan secara cepat. Misalnya, pada tanah masam selalu ditemukan tanaman melastoma. Jadi kalau melihat tanaman ini, sudah pasti tanahnya masam. Tak perlu dicek lagi,” urainya lagi. Atau dalam kasus tanaman jagung, gejala kekurangan hara bisa terlihat dari daun. “Kalau kekurangan hara P, daunnya jadi ungu. Kalau kuning warna daunnya, artinya yang kurang adalah hara N,” tandasnya. SELANJUTNYA 1 2 Home Penemuan Kamis, 08 Juni 2023 - 1450 WIBloading... Ilustrasi tanah vulkanik. Foto Istimewa A A A JAKARTA - Tanah vulkanik dari letusan gunung berapi, ternyata memiliki kandungan zat berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Kandungan berbahaya itu, bisa menyebabkan masalah kesehatan. Anita Yuliyanti, Peneliti Ahli Pertama bidang Geologi, Indonesian Institute of Sciences LIPI mengatakan, batuan permukaan tanah di sekitar tepian kawah gunung berapi hingga radius sekitar 1 km, mengandung zat kimia. "Dikenal sebagai potential harmful elements PHEs. Zat ini terdiri dari logam berat dan beberapa unsur lain yang berpotensi menyebabkan masalah kesehatan, karena sifatnya yang toksik beracun dan karsinogenik dapat memicu kanker," katanya, dilansir dari The Conversation, Kamis 8/6/2023. Baca Juga Lebih lanjut dikatakan, pihaknya melakukan penelitian di kawasan Taman Wisata Alam Talaga Bodas, di Garut, Jawa Barat. Kawasan ini berada tidak jauh dari lahan perkebunan warga. "Temuan kami juga memperkuat penelitian di negara lain yang mengungkapkan adanya kandungan zat-zat berbahaya dalam batuan vulkanik," sambungnya. Tanah vulkanik sering dimanfaatkan warga untuk pertanian, perkebunan, dan pariwisata. Material vulkanik yang kaya akan nutrien unsur hara membuat tanah Indonesia terkenal subur dan cocok untuk perkebunan. Baca Juga Namun, saat tumbuhan menyerap unsur hara dalam tanah, tidak jarang zat berbahaya juga turut terserap ke dalam produk pangan. Zat berbahaya itu meliputi arsenik, antimon, kadmium, kobalt, kromium, dan merkuri. Penjelasan mengenai 6 zat kimia berbahaya itu sebagai berikut 1 Arsenik As kanker gunung api aktif aktivitas vulkanik tanah Baca Berita Terkait Lainnya Berita Terkini More 7 jam yang lalu 8 jam yang lalu 10 jam yang lalu 12 jam yang lalu 13 jam yang lalu 14 jam yang lalu sumber gamber Lapisan teratas sebelum atmosfer yang melapisi dan mengelilingi bumi, menyediakan kebutuhan bagi organisme yang hidup di atasnya, serta mengandung unsur-unsur kimia dengan fungsi berbeda yang dimiliki oleh setiap unsurnya. Tanah, ya, tanah merupakan media alami dengan berbagai fungsi, salah satu fungsi yang biasa diketahuinya yaitu sebagai media tumbuh dan berkembangnya makhluk hidup contohnya saja tanaman. Unsur-unsur kimia dalam tanah memiliki peranan tersendiri dalam kehidupan ekosistem alami. Yaitu sebagai penyedia kebutuhan hara tanaman. Unsur kimia tanah diserap tanaman dalam bentuk ion, sehingga tidak semua unsur dalam tanah dapat diserap oleh tanaman. Terdapat 16 unsur hara kimia dalam tanah yang diperlukan oleh tanaman untuk dapat tumbuh dengan baik. Namun hanya enam unsur yang diperlukan tanaman dalam jumlah besar, unsur hara tersebut biasa disebut dengan unsur hara essential dan kesepuluh lainnya disebut dengan unsur hara non – essential. Unsur hara dalam tanah juga biasa dibedakan dengan unsur hara makro dan juga mikro. Pada unsur mikro, apabila diserap terlalu berlebihan oleh tanaman maka akan bersifat toksik. Enam unsur hara essential atau makro diantaranya nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium dan sulfur. Nitrogen dan fosfor dalam tanah, termasuk ke dalam unsur yang berjumlah sedikit dalam tanah, unsur-unsur tersebut sebagian besar berada pada status tidak tersedia untuk tanaman, kerena untuk diserap oleh tanaman, unsur tersebut harus mengalami proses dekomposisi menjadi nitrat sehingga dapat diserap oleh tanaman. Unsur hara mikro dalam tanah diantaranya besi, mangan, seng, tembaga, boron, molybdenum, dan khlor. Unsur-unsur kimia tersebut hanya dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah sedikit. walaupun dibutuhkan sedikit, apabila tanaman kekurangan unsur-unsur tersebut tetap akan mengalami defisiensi unsur hara yang akan ditandai dengan perubahan fisiologis seperti nekrosis ataupun kerdil. roch

cara mendeteksi kandungan unsur hara dalam tanah